Halaman

Jumat, 13 Maret 2015

ATAP DAN ANAK KORIDOR SEHARUSNYA

Objektifitas ilmu pengetahuan mengantarkan kita pada pandangan empiris yang harus diletakkan sebagai salah satu dasar bangunan ilmu pengetahuan itu sendiri agar dapat diterima secara universal. Berangkat dari pandangan empiris tersebut, dinamika gerak suatu organisme tak pernah dapat dipisahkan dari soal lingkungan yang ditempatinya. Konsekuensinya adalah, dalam melihat dan merumuskan dinamika suatu organisasi, keadaan lingkungan, dalam hal ini sistem yang melingkupinya, harus menjadi bagian yang amat diperhatikan.

Dewasa ini, kehidupan berbangsa kita kian dilanda krisis multidimensi yang justru membawa kita semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Tidak bermaksud mengesampingkan masalah-masalah sosial, budaya, poltik, dan ekonomi, sebagai bagian dari masyarakat pendidikan, kita akan lebih menaruh perhatian kita pada soal-soal pendidikan dimana tempat kita bergelut, di samping keyakinan kita bahwasanya baiknya pengelolaan pendidikan dapat menjadi solusi dari persoalan multidimensi yang melanda bangsa ini.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.

Masalahnya adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika seorang sedang belajar, ia melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan di Indonesia1)Irvan Jaya.2011.

Lihat saja di lingkup pendidikan tinggi, kelas yang tidak demokratis, Indeks Palsu Kumulatif (IPK), dan reproduksi kesenjangan sosial, juga menjadi cerminan kehidupan pendidikan kita hari ini. Semua itu adalah buntut dari disorientasi banyak regulasi pendidikan produksi pemerintah atau lembaga pendidikan. Sebut saja UU BHP, yang kini bertransformasi menjadi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang di dalamnya termaktub diantaranya PTN-BH, kerja sama internasional, penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain, dll, yang keseluruhnya berdalih otonomisasi perguruan tinggi. 

Kebijakan UKT yang berdalih subsidi silang, justru menjadikan SPP yang harus dibayar mahasiswa malah naik, tapi fasilitas dan layanan pendidikan di kampus tidak berubah, justru merosot. Hal ini juga akan membuat pendidikan menjadi barang mahal yang makin sulit dijangkau. Angka partisipasi pendidikan kita untuk usia 19-24 tahun hanya 4,8 juta orang, hanya 14,86 % total pemuda usia tersebut. Ada juga, pembatasan masa studi hanya 5 tahun, yang akan membuat mahasiswa semakin berkurang daya kritis dan kepekaan sosialnya, pasalnya mereka akan semakin terkungkung dan disibukkan dengan tuntutan akademik agar cepat hengkang dari kampus.

Beberapa regulasi di atas adalah contoh kebijakan pendidikan yang menurut hemat kami, tidak lagi berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional.  Pendidikan di negeri ini telah terseret oleh desakkan kapitalisme global yang menuntut liberalisasi dan komersialisasi sektor jasa pendidikan2). Walhasil, pendidikan kini menjadi ‘barang mahal’ yang hanya bisa diakses oleh kaum elit, orang miskinpun tidak mampu sekolah, terbukti dari angka partisipasi pendidikan di Indonesia yang begitu rendah. Hal ini sebagai akibat keanggotaan Indonesia dalam WTO sejak tahun 1994, kemudian terbukanya keran liberalisasi 12 sektor jasa termasuk pendidikan melalui penandatanganan GATS (General Agreement on Trade in Service) oleh pemerintah pada Desember 2005 silam. Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Rektor UGM 2002-2007, mengatakan liberalisasi pendidikan tinggi tetap akan membawa dampak buruk bagi dunia pendidikan Indonesia3)Bersyarat, Liberalisasi Pendidikan. Media Indonesia: 27 Juni 2005.
Merekapun yang dapat mengakses pendidikanpun tak bisa lepas dari imbas liberalisasi pendidikan. Seperti yang telah kami sebutkan diatas, sistem pendidikan kita yang disorientasi tak ubahnya merupakan projek-projek pesanan asing untuk menyeret kita dalam permainan kepentingan kapitalisme global, sebagai pekerja-pekerja “siap pakai”, tidak berwawasan sosial, dengan keahlian minim dan bisa diupah murah. 2015 kita akan memasuki ekonomi Asean Community. Dari jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar yang mencapai 252 juta jiwa, akan ada dua hal yang paling mungkin. Indonesia dengan SDM yang melimpah mejadi penghasil tenaga kerja murah. Kemudian tak kalah pentingnya, Indonesia akan menjadi sasaran empuk untuk memasarkan produk-produk kapitalisme global. Tak heran jika dewasa ini masyarakat Indonesia manjadi semakin konsumtif. Sadar atau tidak, ini adalah  gaya hidup yang dicekokkan kepada kita semua melalui hegemoni budaya dengan doktrin-doktrin media.

Hal yang menjadi catatan kita adalah, pertama, pemerintah telah menyeret kita dalam lapangan kapitalisme global. Kedua, pemerintah seakan tutup mata dari realitas masyarakat Indonesia yang belum memiliki kompetensi yang cukup dalam persaingan global akibat rendahnya kualitas pendidikan. Kesimpulanya, pemerintah dengan berbagai dalih, nampak berlepas tangan dari tanggung jawab yang diamanahkan dalam UUD 1945. Di zaman yang serba edan ini, rakyat hidup sendiri, seperti tak mendapatkan perlindungan dari negara yang dijalankan pemerintah.

“sekarang ini (reformasi, red), kita masyarakat tanpa negara, sedang orde baru itu negara tanpa masyarakat. Ini anarki, masak kita menghendaki masyarakat tanpa negara? Itu memeng terjadi tahun 1945 bulan agustus sampai januari 1946. Tapi itu sementara, lalu RI (Republik Indonesia) membuat negara. Dulu kok bisa, sekarang nggak bisa. Apa sekarang kita lebih bodoh? Mungkin jawabanya begitu. Kita lebih bodoh dari generasi Soekarno-Hatta”
 4)
Kesadaran akan realitas kehidupan berbangsa umumnya dan dunia pendidikan khususnya seperti tergambarkan di atas, sebagai masyarakat pendidikan, kita seharusnya berpikir solutif, paling tidak kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang amat keras nantinya ketika kita kembali ke dalam masyarakat era global. Pertanyaannya adalah, masihkah kita akan menggantungkan sepenuhnya hari depan kita pada sistem pendidikan hari ini? Di bagian inilah organisasi kemahasiswaan mengambil peranannya.


Organisasi kemahasiswaan bukan hanya sebagai tempat belajar berorganisasi dalam artian even organizer, lebih dari itu, organisasi kemahasiswaan seharusnya dapat difungsikan sebagai tempat mempersiapkan kader-kadernya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di masyarakat era global. Jika suatu lembaga telah mengadopsi fungsi ini, maka inilah yang kita namakan organisasi kader. Pahaman dasar yang harus dibangun adalah, bahwa mereka yang terhimpun dalam organisasi kemahasiswaan adalah mahasiswa yang merupakan inti generasi muda yang masih dalam proses pembentukkan. Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan kesinambungan antara pendidikan formal dan non formal, forum-forum atau dukungan yang mendorong kepada peningkatan dan pengembangan kualitas kader harus terus-menerus dihidupkan. Kesadaran seperti inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh organisasi kemahasiswaan dewasa ini.

Jadi, apa mi mau na bikin "anak koridor"?

Resensi Buku SOEKARNO; MEMBONGKAR SISI-SISI HIDUP PUTRA SANG FAJAR



Judul Buku       :  Soekarno; Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar
Penulis              :  Alec Gordon, Cornelis Lay, Daniel Dhakidae, Goenawan Mohamad, Hilmar Farid, H.S. Dillon, Idham Samudra Bey, J.J. Rizal, Karlina Supelli, M. Dawam Rahardjo, Poppy Ismalina, Seno Gumira Ajidarma, Taufik Abdullah, Wasisto Raharjo Jati, Wilson, Yudi Latif
Editor                   : Daniel Dhakidae
Penerbit                : Kompas
Terbit                    : Agustus 2013
Tebal                    : xxvii + 428 halaman
ISBN                    : 978-979-709-734-9
Harga                    : Gratis (pinjam)


Buku ini mungkin kehilangan arti sebagai buku biografi, terlepas dari yang dikisahkan adalah sosok seorang tokoh besar, seorang pemikir sosialis, anti-imperialis dan neo-liberalis, seorang humanis, pengagum wanita, our fonding father, bapak proklamator, Soekarno. Biografi umumnya akan berkisah tentang perjalanan hidup, tapi lain dengan yang disajikan dalam buku ini, pergulatan gagasan dan pemikiran menjadi sajian yang dominan, runut waktu hanya digunakan untuk memperjelas alur lahir gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran tokoh yang dimaksud, Soekarno.

Buku ini disusun dari tulisan beberapa penulis dengan latar belakang berbeda serta gagasan-gagasan pokok berbeda pula dari sisi-sisi hidup Bung Karno. Penggalan kisah hidup diceritakan untuk memberikan gambaran lahirnya pemikiran-pemikirang Soekarno. Sering beberapa penggal kisah hidup diceritakan berulang, namun untuk menggambarkan lahirnya pemikiran yang berbeda. Misalnya, kisah pembuangannya di Ende, Flores, diceritakan dalam lahirnya gagasan Pancasila, di lain bab diceritakan sebagai rumah pemulihan bagi Soekarno dari kejatuhan mental akibat sebelumnya ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung.

Carita-cerita kisah berulang tersebut bukanlah suatu cela yang menjadi kelemahan buku ini, justru dengan demkian, pembaca dapat lebih menyelami relung-relung kisah yang melahirkan ide-ide besar Bung Karno. Kompleks memang, namun begitulah kita bisa memahami seorang Bung Karno yang pula kompleks, pun peran maupun pemikiran-pemikirannya. Kumpulan tulisan ini dibagi dalam tiga bagian.

Bagian Pertama

Bagian pertama membahas tentang Soekarno dan gagasan-gagasan pemikiran kebangsaan yang dilahirkannya, terdiri dari enam bab dan dirangkum dalam judul SOEKARNO DAN IDEOLOGI. Bahasan awal dalam bagian ini dibuka dengan lahirnya gagasan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, hingga bergesernya makna pancasila di masa orde baru akibat situasi politik. Dalam bagian ini juga digambarkan Soekarno yang seorang Ideolog, dari Pancasila, partai tunggal atau Staatpartij, demokrasi terpimpin, gagasan kebangsaan dan persatuan, sosialisme di Indonesia, sampai pemikiran ekonomi dengan jiwa anti-imperialisme dan anti-kapitalisme dalam konsepsi Sosio-demokrasi, lahir sebagai gagasan-gagasan beliau.

Bagian ke Dua

Bagian ke dua tentang pengasingan Soekarno di Ende, Flores, diberi judul ENDE DAN SOEKARNO. Bagin ini terdiri dari tiga bab. Bahasan pada bab pertama tentang latar belakang munculnya politik pengasingan. Bab selanjudnya mengungkap sisi lain Ende bagi Soekarno yang justru menjadi tempat pemulihan baginya, tempatnya menemukan kembali (lebih tepatnya, ‘memantapkan’) ide-ide pergerakan yang hampir “terbenam” dalam keraguan.  Bab terakhir berbicara tentang pandangan Islam Bung Karno.
Ende yang oleh pemerintah kolonial diharapkan bisa memadamkan “api Soekarno”, justru menjadi tempat mengumpul dan memupuk bara-bara panas, benih yang kemudian berevolusi dalam diri Soekarno menjadi “api vulkanik” yang kemudian lebih membakar lagi semangat pergerakan rakyat nusantara mengobarkan perjuangan revolusi hingga mencapai Indonesia merdeka 1945.

Bagian ke Tiga

Selanjudnya SISI-SISI LAIN SOEKARNO. Bagian ini memberikan tinjauan tentang retorika Soekarno, kemudian pandangan Soekarno tentang perempuan sebagai bagian dari kekuatan besar perjuangan, masing-masing dirangkum dalam bab 1 dan bab 2. Bab 3 berbicara tentang usaha-usaha pemerintah orde baru mengubur dalam-dalam nama Soekarno sebagai bagian dari sejarah Indonesia melalui berbagai serangan dan tudingan erat dengan peristiwa Gestap atan G30S/PKI. Bab 4 mengungkap peran Soekarno dikancah internasional, bagaimana gagasan-gagasan beliau dalam membangun politik negara-negara “dunia ke tiga”. Di bab 5 kita akan mendapat gambaran betapa dermawannya negri nusantara ketika masih berada di bawah kekuasaan kolonial, dimana telah memberikan ‘sumbangan besar’ bagi pembangunan negara-negara eropa dengan nilai miliyaran Gulden.

Pada bagian akhir buku ini, pembaca akan coba diarahkan untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan, Siapa Soekarno? Namun dari kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan dalam epilog ini, pembaca tidak akan mendapatkan kalimat yang dengan tegas menjawab pertanyaan di atas. Pembaca hanya akan mendapatkan penggambaran-penggambaran kompleks tentang Soekarno, karena memang itulah Soekarno, kompleksitas yang tearah dalam satu sosok manusia, di satu sudut bumi, Indonesia. Memahami Soekarno hanya dengan memahami Indonesia, memahami Soekarno hanya dengan memahami Sejarah.

Satu pandangan inkonsisten (kalaupun dapat dianggap kekurangan) dalam buku ini, ialah tentang empat pucuk surat yang ditulis Soekarno ketika ia dipenjara di Sukamiskin, Bandung, yang isinya tentang keinginanya untuk mengundurkan diri dari dunia politik yang menuai kontrofersi publik kala itu. Dalam bahasan Bagian I Bab 2, Pancasila Soekarno dan Orde Baru, keberadaan surat-surat tersebut dianggap manipulasi pemerintah kolonoal untuk meredam gejolak pergerakan nasional kala itu. Begitulah asumsi tandingan yang oleh penulis, Cornelis Lay, diangkat sebagai pembelaan untuk mengimbangi wacana kebenaran keberadaan surat tersebut dalam usaha pencitraan buruk Soekarno di mata rakyat Indonesia dalam projek de-Soekarnoisasi oleh pemerinta Orde Baru.
Beda halnya dalam Bagian II Bab 2, Dari Tempat Pembuangan Menjadi Rumah Pemulihan, kebenaran adanya surat-surat dimaksud diterima untuk menguatkan asumsi hancurnya mental Soekarno akibar perlakuan selama ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung. Asumsi kehancuran mental inilah yang oleh penulis, Daniel Dhakidae, dijadikan fondasi untuk membangun wacana “Ende sebagai tempat pemulihan” bagi Soekarno.

Lepas dari kenyataan sejarah yang sebenarnya tentang surat-surat dimaksud di atas yang belum bisa dibuktikan ada-tidaknya, yang hingga hari ini masih menuai kontrofersi, bagi saya ungkapan ‘inkonsistensi’ di atas lebih memberikan gambaran objektifitas isi buku ini. Buku ini adalah kumpulan tulisan tentang Soekarno oleh banyak penulis, dan perbedaan pandangan antar dua penulis mengenai fenomena sejarah tetap disajikan secara terbuka. Pembaca tidak diarahkan untuk berpihak dalam salah satu opini yang diungkapkan yang pada akhirnya akan melahirkan simpati atau antipati pada tokoh yang diceritakan, dalam hal ini Bung Karno.

SOELOEH BOEDAJA BATJA

Mendidik kepribadian dapat dilakukan melalui buku. Dengan membaca buku seseorang akan memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas, dari situ ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga akan terbentuk pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. 

Minat dan kebutuhan masyarakat untuk gemar membaca memerlukan perhatian serius dari segala lapisan masyarakat, pemerintah, aktor pendidikan dan dari pihak yang sadar dan peduli akan arti pentingnya membaca bukan hanya sebagai hobi, tetapi juga memutus rantai kemiskinan, kebodohan dan ketidakpedulian sosial.

Bagaimana dengan mahasiswa hari ini yang notabennya berada dalam lingkup pendidikan dan akrab dengan ilmu pengetahuan? Bukankah kebiasaan baca buku seharusnya membudaya dikalangan mahasiswa? Seharusnya!!


Membaca, bagi sebagian (mungkin tepatnya sebagian besar), mahasiswa hari ini merupakan sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Membaca jurnal atau buku teks? Membaca novel yang merupakan karangan fiksi saja jarang. Apalagi harus menyentuh buku-buku tebal yang membahas materi serius, belum lagi buku tersebut berbahasa asing. 

Membaca, pada kenyataannya sering dilakukan menjelang ujian. Bahkan ada yang melakukannya secara ‘SKS’, atau sistem kebut semalam. Alih-alih ingin memahami sebanyak mungkin yang dibaca, membaca justru bikin buyar karena dilakukan dengan tidak fokus. Karena panik sudah dekat ujian. Kalau sudah seperti itu, biasanya, kebanyakan mahasiswa memilih untuk tarik selimut, kemudian mimpi indah, mencari ketenangan ketimbang harus pusing dengan membaca.

Mahasiswa harus dekat dengan buku dan literatur-literatur yang sejenis, mahasiswa sebagai seorang akademisi sudah selayaknya menyantap buku-buku yang akan menambah pengetahuan dan wawasan, namun sekarang jangankan untuk membaca, membawa buku saja sudah merupakan beban bagi sebagian mahasiswa, dikarenakan tebalnya ukuran dan beratnya buku itu. Hal yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Jadi singkat cerita, pada kenyataannya, minat baca dikalangan mahasiswa masih terbilang sangat rendah, mahasiswa masih urung untuk buka buku, apalagi untuk baca. Padahal mahasiswa sebagai kaum terdidik selayaknya membaca untuk kemajuan bangsa. Ya tapi apa boleh dikata, ternyata para mahasiswa masih belum melek dan sadar betapa penting kebiasaan baca buku.

Mengapa mahasiswa malas baca buku? sebenarnya banyak penyebabnya, baik itu dari lingkungan atau pun dari dalam diri mahasiswa itu sendiri. Dari analisis kami, berikut beberapa penyebab rendahnya minat baca dikalangan mahasiswa.

Pertama, sistem pembelajaran yang belum bisa memaksa mahasiswa membaca buku, mencari informasi, atau mencari lebih dari apa yang diajarkan. Seharusnya pendidik mampu membuat mahasiswa penasaran sehingga timbul ras ingin tahu dan sikap kritis, dan dari situ akan muncul keinginan untuk membaca. 

Kedua, terlalu banyaknya jenis hiburan, permainan/games, dan tayangan televisi yang membuat kiat sibuk sehingga tidak ada waktu untuk membaca, apalagi dengan menjamurnya media sosial sekarang ini, mulai dari frienstre sampai dengan twitter, mereka lebih memilih chating berjam jam dari pada membaca buku. Inilah salah satu dari dua mata pisau kemajuan teknologi.

Ketiga, banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, mall, bioskop, dan masih banyak lagi. Parahnya, tempat-tempat hiburan seperti ini menjamur di kawasan pendidikan atau di sekitar kampus. Ada baiknya ke tempat hiburan untuk menghilangkan stress dan sekaligus rekreasi, tetapi lain cerita jika setiap hari kita berkunjung ditempat hiburan. Tempat tempat hiburan telah jadi kampus kedua untuk para mahasiswa. 

Keempat , membaca masih dianggap sebagai hal yang tabu, bahkan sebutan untuk orang yang suka membaca buku saja, terkesan kumuh dan jorok. KUTU BUKU. Dan budaya membaca yang di anggap ‘enggak gaul’ dan lebih dekat dengan anak-anak yang ‘cupu’. Pembaca buku diidentikkan dengan mereka yang penampilannya aneh, berkacamata tebal. Sebuah diskriminasi sosial yang memprihatinkan.