Objektifitas ilmu pengetahuan
mengantarkan kita pada pandangan empiris
yang harus diletakkan sebagai salah satu dasar bangunan ilmu pengetahuan itu
sendiri agar dapat diterima secara universal. Berangkat dari pandangan empiris
tersebut, dinamika gerak suatu organisme tak pernah dapat dipisahkan dari soal
lingkungan yang ditempatinya. Konsekuensinya adalah, dalam melihat dan
merumuskan dinamika suatu organisasi, keadaan lingkungan, dalam hal ini sistem
yang melingkupinya, harus menjadi bagian yang amat diperhatikan.
Dewasa ini, kehidupan berbangsa
kita kian dilanda krisis multidimensi yang justru membawa kita semakin jauh
dari cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Tidak
bermaksud mengesampingkan masalah-masalah sosial, budaya, poltik, dan ekonomi,
sebagai bagian dari masyarakat pendidikan, kita akan lebih menaruh perhatian
kita pada soal-soal pendidikan dimana tempat kita bergelut, di samping
keyakinan kita bahwasanya baiknya pengelolaan pendidikan dapat menjadi solusi
dari persoalan multidimensi yang melanda bangsa ini.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap
bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak
begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalahnya adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata kurang seimbang antara belajar
yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur
integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika seorang sedang belajar, ia melakukan
berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai,
semangat dan sebagainya. Pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan
istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan di Indonesia1)Irvan
Jaya.2011.
Lihat saja di lingkup pendidikan tinggi, kelas yang tidak demokratis,
Indeks Palsu Kumulatif (IPK), dan reproduksi kesenjangan sosial, juga menjadi
cerminan kehidupan pendidikan kita hari ini. Semua itu adalah buntut dari disorientasi banyak regulasi pendidikan
produksi pemerintah atau lembaga pendidikan. Sebut saja UU BHP, yang kini
bertransformasi menjadi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang di
dalamnya termaktub diantaranya PTN-BH, kerja sama internasional,
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain, dll, yang keseluruhnya
berdalih otonomisasi perguruan
tinggi.
Kebijakan UKT yang berdalih subsidi silang, justru menjadikan SPP yang
harus dibayar mahasiswa malah naik, tapi fasilitas dan layanan pendidikan di
kampus tidak berubah, justru merosot. Hal ini juga akan membuat pendidikan
menjadi barang mahal yang makin sulit dijangkau. Angka partisipasi pendidikan
kita untuk usia 19-24 tahun hanya 4,8 juta orang, hanya 14,86 % total pemuda
usia tersebut. Ada juga, pembatasan masa studi hanya 5 tahun, yang akan membuat
mahasiswa semakin berkurang daya kritis dan kepekaan sosialnya, pasalnya mereka
akan semakin terkungkung dan disibukkan dengan tuntutan akademik agar cepat
hengkang dari kampus.
Beberapa regulasi di atas adalah contoh kebijakan pendidikan yang menurut
hemat kami, tidak lagi berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Pendidikan di negeri ini telah
terseret oleh desakkan kapitalisme global yang menuntut liberalisasi dan komersialisasi
sektor jasa pendidikan2). Walhasil, pendidikan kini menjadi ‘barang
mahal’ yang hanya bisa diakses oleh kaum elit, orang miskinpun tidak mampu
sekolah, terbukti dari angka partisipasi pendidikan di Indonesia yang begitu
rendah. Hal ini sebagai akibat keanggotaan Indonesia dalam WTO sejak tahun
1994, kemudian terbukanya keran liberalisasi
12 sektor jasa termasuk pendidikan melalui penandatanganan GATS (General Agreement on Trade in Service) oleh pemerintah pada
Desember 2005 silam. Prof. Dr. Sofian
Effendi, MPIA, Rektor UGM 2002-2007, mengatakan liberalisasi pendidikan tinggi
tetap akan membawa dampak buruk bagi dunia pendidikan Indonesia3)Bersyarat, Liberalisasi Pendidikan.
Media Indonesia: 27 Juni 2005.
Merekapun yang dapat mengakses pendidikanpun tak bisa lepas dari imbas
liberalisasi pendidikan. Seperti yang telah kami sebutkan diatas, sistem
pendidikan kita yang disorientasi tak
ubahnya merupakan projek-projek pesanan asing untuk menyeret kita dalam
permainan kepentingan kapitalisme global, sebagai pekerja-pekerja “siap pakai”,
tidak berwawasan sosial, dengan keahlian minim dan bisa diupah murah. 2015 kita
akan memasuki ekonomi Asean Community.
Dari jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar yang mencapai 252 juta jiwa,
akan ada dua hal yang paling mungkin. Indonesia dengan SDM yang melimpah mejadi
penghasil tenaga kerja murah. Kemudian tak kalah pentingnya, Indonesia akan
menjadi sasaran empuk untuk memasarkan produk-produk kapitalisme global. Tak
heran jika dewasa ini masyarakat Indonesia manjadi semakin konsumtif. Sadar atau tidak, ini adalah gaya hidup yang dicekokkan
kepada kita semua melalui hegemoni budaya dengan doktrin-doktrin media.
Hal yang menjadi catatan kita adalah, pertama,
pemerintah telah menyeret kita dalam lapangan kapitalisme global. Kedua, pemerintah seakan tutup mata
dari realitas masyarakat Indonesia yang belum memiliki kompetensi yang cukup dalam
persaingan global akibat rendahnya kualitas pendidikan. Kesimpulanya,
pemerintah dengan berbagai dalih, nampak berlepas tangan dari tanggung jawab
yang diamanahkan dalam UUD 1945. Di zaman yang serba edan ini, rakyat hidup sendiri, seperti tak mendapatkan
perlindungan dari negara yang dijalankan pemerintah.
“sekarang ini
(reformasi, red), kita masyarakat tanpa negara, sedang orde baru itu negara
tanpa masyarakat. Ini anarki, masak kita menghendaki masyarakat tanpa negara?
Itu memeng terjadi tahun 1945 bulan agustus sampai januari 1946. Tapi itu
sementara, lalu RI (Republik Indonesia) membuat negara. Dulu kok bisa, sekarang
nggak bisa. Apa sekarang kita lebih bodoh? Mungkin jawabanya begitu. Kita lebih
bodoh dari generasi Soekarno-Hatta”
Kesadaran akan realitas kehidupan berbangsa umumnya
dan dunia pendidikan khususnya seperti tergambarkan di atas, sebagai masyarakat
pendidikan, kita seharusnya berpikir solutif, paling tidak kita harus
mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang amat keras nantinya ketika
kita kembali ke dalam masyarakat era global. Pertanyaannya adalah, masihkah
kita akan menggantungkan sepenuhnya hari depan kita pada sistem pendidikan hari
ini? Di bagian inilah organisasi kemahasiswaan mengambil peranannya.
Organisasi kemahasiswaan bukan hanya sebagai tempat
belajar berorganisasi dalam artian even
organizer, lebih dari itu, organisasi kemahasiswaan seharusnya dapat
difungsikan sebagai tempat mempersiapkan kader-kadernya untuk menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi di masyarakat era global. Jika suatu lembaga telah
mengadopsi fungsi ini, maka inilah yang kita namakan organisasi kader. Pahaman dasar yang harus dibangun adalah, bahwa
mereka yang terhimpun dalam organisasi kemahasiswaan adalah mahasiswa yang
merupakan inti generasi muda yang masih dalam proses pembentukkan. Oleh karena
itu, dengan tetap memperhatikan kesinambungan antara pendidikan formal dan non
formal, forum-forum atau dukungan yang mendorong kepada peningkatan dan
pengembangan kualitas kader harus terus-menerus dihidupkan. Kesadaran seperti
inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh organisasi kemahasiswaan dewasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar